Siang menjelang sore, sekitar pukul 16.30 waktu Indonesia bagian Barat, lokasi : kamar kak Jessy.
Kali ini saya mau berbagi tentang seseorang yang sudah menjadi seseorang yang cukup berarti buat saya belakangan ini, pemuda yang saya ungkit-ungkit di blog sebelumnya. Saya sedang ingin sekali bercerita banyak hal tentang dia, makanya saya kesini. Just keep reading.
Bermula dari DPR SMA saya yang berada di Medan, rumah saya selama 3 tahun. Kami menyebutnya DPR (Dibawah Pohon Rindang), tepatnya di samping halaman sekolah yang luas, tempat orang-orang pada duduk untuk sekedar menikmati angin sepoi-sepoi, atau menyemangati temannya sedang bermain di lapangan, tempat berbagi cerita, dan tempat belajar bersama untuk mendiskusikan banyak hal.
Hari itu, Jumat, 22 Juli 2011.
Harinya kami berlari, bermain, menikmati milo ice chocolate nya kantin, dan makan sebanyak-banyaknya. Yap, karena kami kelelahan. Harinya kami mendapat jadwal olahraga pada jam jam terakhir kelas. Bisa bayangin, gimana panasnya kota Medan? Lalu kami berolahraga di jam itu, dan bayangkan jadinya kami setelah pulang sekolah. Tapi kami tetap bahagia. Dan hari Jumat, menjadi hari kesukaan saya dengan teman saya, Ugani, karena kami sangat sangat bahagia ketika berolahraga.
Pulang sekolah ada janji kami untuk belajar fisika bersama. (cyee dina..) Tentu saja saya tidak akan melakukan hal itu jika Uga tidak meminta saya, dan jika kami mengerti apa yang diajarkan dikelas. Karna itu bertepatan dengan tahun ajaran baru, kelas 2 SMA.
Kau tau? Tepat hari itu, saya sedang mengenakan gelang yang diberikan seseorang kepada saya, janji pertemanan kami. Janji "pertemanan" kami. Saya sedang merindukan teman saya itu, jadi saya kenakan saja gelangnya. Dan disinilah hari bermula.
Saya dan Ugani, sekitar jam setengah 3 sore, setelah kami selesai makan siang, kami lalu berlari-lari sebentar, bermain, mencari Nelwan, dan menuju DPR. Nelwan adalah teman sekelas kami waktu kelas 1, dan dia sangat pintar sekali, salah satu murid di kelas unggulan setelah kami naik kelas. Kami mencarinya, kami mendapatkannya, lalu kami duduk di DPR pertama, tepat sejajar dengan kantor guru.
By the way, di DPR kami terdapat 6 bagian meja dan tempat duduk yang terbuat dari bata. Jadi kami duduk di DPR pertama paling depan. Jika kalian yang membaca blog saya ini tau tempat yang saya maksud, informasi sedikit, saya duduk menghadap SMP, Uga disebelah saya, dan Nelwan berada disebelah kanan saya, menghadap kelas yang ada dibelakang DPR. Tak berapa lama kami belajar, lalu datanglah mereka.
Mereka? Mereka alumni sekolah kami angkatan tahun 2010, sekitar 3 tahun diatas kami. Bisa bayangkan, bagaimana pertama sekali melihat sekelompok laki laki, tinggi tinggi, cakep cakep, dan anak kuliahan. Betapa segannya kami, dan saya tertarik melihat seseorang dengan rambut gondrong, benar benar Bandung. Kenapa saya tau mereka alumni yang kuliah dari Bandung? Karena disitu ada seorang abang gereja saya, satu gereja dengan saya sebelum dia kuliah di Bandung. Saya mengenalnya. Dia menyapa saya, dan selama kami belajar, kau tau gaya belajar anak SMA bukan? Tidak pernah serius, kecuali orangnya emang serius. Dan kami bukan salah satu dari anak-anak serius itu, kecuali Nelwan tentunya. Baiklah. Dan selama kami belajar, abang yang saya kenal sebagai teman satu gereja saya dulu, bang A (maaf nama tidak dipublikasi agar nyaman oleh berbagai pihak), dengan sibuknya mengganggu saya, sehingga saya harus tertawa banyak, lebar, dan teriak teriak untuk membalas setiap ejekan yang ia lontarkan kepada saya. Dia mengenal seseorang yang sedang "berteman" dengan saya waktu itu. Kenapa saya bilang "berteman"? Karena kami memang berteman, tidak lebih dari itu, dan saya tidak mau lebih dari itu, waktu itu.
Dan, saya sadar, seseorang itu, rambut gondrong itu, yang duduk tepat disebelah bang A dan kawan-kawan mereka, yang duduk tepat di DPR hadapan kami, melihat kearah saya, ketika saya sedang adu mulut seru dengan bang A. Saya melihat matanya. Saya tau tatapan itu, senyum kecil itu, tapi saya tidak bisa merangkaikannya lewat kata-kata. Saya tidak tau pasti itu apa, tapi ada yang mengatakan dalam diri saya, sesuatu, kemudian saya paham itu apa. Tidak, saya hanya bisa merasakan apa artinya, tidak dalam bentuk yang harafiah.
Beberapa kali seperti itu, lalu seseorang itu pergi ke seberang lapangan, duduk di pohon, di depan kantor guru. Hahaha.. Saya mengikutinya dengan anak mata saya, sambil saya belajar, sambil saya membalas obrolan dengan bang A juga. "Eh punya bb juga kau ya, ngga bagi bagi pin. Bagi lah." "Yaudah add aja bang." Sahut ku kepada bang A. Kejadian itu berlangsung cukup panjang sampe sekitar jam setengah 5, saya lalu pulang, karena sudah dijemput.
Malam hari. Saya berada di kamar mama saya, bersama kak Jessy, Dini, dan Diana. Kami menonton televisi, ritual yang selalu kami lakukan ketika pemilik kamar sedang pergi setiap hari Jumat malam.
Saya menerima friend request ke blackberry messenger saya. Sejak bulan Juni saya menerima bb baru saya itu, saya sudah mewanti-wanti diri saya sendiri, untuk tidak menerima friend request dari siapapun yang tidak saya kenal. Kemudian saya membaca nama pengirim request, lalu saya tertegun. Sesuatu mendorong saya untuk menekan tombol "accept", hal yang jarang saya lakukan kalau saya tidak mengenal nama pengirim. Sedikit lama saya berpikir untuk memilih tombol itu, lalu sesuatu bercokol di pikiran saya "udah terima aja na, kawan baru jangan sering-sering ditolak." Saya menekan tombol accept.
Hitungan ke 10 setelah saya memilih tombol itu, saya menerima bbm. Sudah bisa tebak dari siapa bukan? Yap, dari si pengirim friend request tadi.
Pengirim : Halo :)
Me : Halo juga.
Pengirim : Salam kenal ya. :)
Me : Ini siapa?
Pengirim : Yang tadi di DPR loh.
Me : Ooh yang mana bang?
Pengirim : Yang pake baju warna hitam tadi.
Me : Banyak tadi yang pake warna hitam bang.
Pengirim : Yang rambutnya gondrong. -_-
Me : Hahahaa! Ooo yang itu. Tau tau bang.
Dan mulailah chat pertama kami.
Chat yang selama ini saya lakukan, tidak pernah menggunakan emoticon, saya sangat anti melakukan itu karena bagi saya terlalu haybring, harus keluar juga ketika chat dengan seseorang ini. Saya tidak tau bagaiman cerita pastinya, yang pasti saya merasa bertemu dengan teman lama saya ketika chatting dengannya. Saya tidak gugup, tidak kehilangan kata, tidak harus cuek, tidak harus memikirkan banyak hal. Saya menikmatinya. Kami berkenalan. Berkenalan satu arah maksudnya. Karena abang ini yang lebih aktif bertanya. Tentang saya, kelas berapa, berapa bersaudara, sampai golongan darah. -_-
Chatting kami berlanjut tidak satu hari itu saja. Besoknya lagi, besoknya lagi, lagi, dan besoknya lagi. Maaf, saya sudah lupa apa saja yang kami bicarakan selama itu. Tapi, ehm, tidak setiap hari maksud saya. Kadang berhenti satu hari, lalu lanjut 2 atau 3 hari, berhenti sebentar, dan lanjut lagi. Salah satu pembicaraan kami yang berkesan buat saya, yaitu ketika dia mau potong rambut. Dia bertanya pendapat saya tentang bagaimana model rambut cowo yang bagus. Dia mengirimi saya banyak foto model rambut, menanyakan pendapat saya, lalu mencari lagi. Sampai saya pun ikut mencari di Internet. Keesokan harinya, teman sekelas saya, yang sering kami panggil "Vijay", datang ke kelas dengan potongan rambut baru. Dengan potongan yang menurut saya keren, dan dari dulu, saya memang menyukai model rambut laki-laki seperti itu. "Tok tok, itu model rambut si Vijay namanya apa?" "Mohawk itu tok. Jadi keren kali dia ya kan?" Jawab chris, teman saya. Lalu waktu kami chattingan, saya mengatakan tentang model rambut Mohawk tersebut ke dia. Fyi, sebut saja dia bang #.
Bang # : Mak.. Mohawk itu yang kayak anak-anak band itu loh din, yang rambutnya ke atas gitu terus sampingnya ditipisin, sampe botak juga ada. -_-
Me : Oiya ya bang? Tapi tadi rambut temenku ga sampe botak kok. Rapi jadi rambutnya bang. Coba abang cari aja lagi yang lain di internet.
Okey, dan tibalah hari pemotongan rambut bang #.
Sore hari.
Bang # : Din, aku udah jadi potong rambut.
Me : Serius bang? Hahaha jadi model apa?
Bng # : Aduh aku ga ngerti ini apa -_- Yang jelas kependekan kali kurasa. Nanti la ya aku fotoin.
Malam hari. Saya sudah mau tidur. Di tempat tidur kamar saya.
Bang # : Din ini fotonya. Jelek kali kan? -____-
Saya buka foto pertama. Prang. Saya mati kata. Saya beku.
(halah) Beneran. Saya suka sekali model rambutnya. Saya suka gaya dia duduk sambil melihat ke arah samping itu. Saya suka jam tangan hitam di tangan kirinya itu, saya suka senyum itu, sama seperti yang saya lihat di DPR.
Me : AAA ya ampun bang keren loh. Aku serius, bagus kali. Engga kependekan kok bang, rapi kali. Seger gitu jadi keliatannya.
Bang # : Masa sih dina? Aku ga pede kayak gini, kok rasanya kependekan ya. Kebiasaan gondrong ini din.
Me : Iya bang. Percaya sama aku, tambah ganteng! Abang rapi kali keliatannya.
Dan selanjutnya, dan selanjutnya, ucapan terimakasih, pujian, terimakasih, pujian, dan semacamnya.
Bbman kami yang lain, dia juga menceritakan tentang kecintaannya sama otomotif. Mulai dari dia masih pakai sepeda motor dulu di SMA, sampai mobil baru yang kala itu, tanggal 25 juli, baru diterimanya dan keluarganya. Dia juga berbakat dibidang fotografi. Gimana angle, suasana, cahaya, saya tidak mengerti gimana cara liatnya. Tapi saya bisa merasakan hasil fotonya, jiwanya disana. Bakatnya ada. Saya sempat mengecek facebooknya, foto fotonya, dan foto yang dia ambil sendiri.
Sampai bbman kami sampai di minggu ke 4 atau 5, dia mulai mengakui kalau dia menyukai saya. Tidak, dia tidak meminta saya menjadi pacarnya. Tidak seburu-buru itu. Setiap dia mengatakan hal itu, saya hanya menjawab "
I appreciate that bang, aku juga suka berteman sama abang." dan berbagai jawaban lainnya dengan tema yang sama. Saya tau itu menyakitkan buat dia, karena insting perempuan saya mengatakan, suka yang dia maksud, bukan suka yang seperti saya balas ke dia. Tapi ya, antara laki-laki dan perempuan. Saya hanya merasa itu terlalu cepat. Terlalu dini. Dan mungkin terlalu terburu-buru. Tapi kau tau, tidak ada yang bisa menebak perasaan, kapan ia harus datang dan pergi lagi, dan datang lagi, dan pergi lagi. Itulah yang saya alami dengannya.
Tapi-nya lagi, saya tidak bisa memungkiri kalau saya juga nyaman dengannya. Saya tidak berani mengatakan kalau saya menyukainya, karena saya sendiri tidak tau perasaan saya bagaiman saat itu. Seharian di satu hari, saya bergumul dengan perasaan saya sendiri. Seperti ada sesuatu yang sedang saya tahan, tapi tidak berani saya keluarkan. Saya berpikir terus, kebingungan, bertanya-tanya sendiri, berjalan keluar-masuk kamar, tiduran diatas tempat tidur, berdiri dan keluar kamar lagi, lalu saya duduk di meja belajar saya. "Hah iya iya, aku suka sama dia. Aku suka sama bang #. Aku suka sama dia.", kata saya kepada diri saya sendiri. Saya membisikkan kalimat itu ke diri sendiri, lalu saya merasa lepas. Tidak ada yang menahan saya. Lalu saya tersenyum sendiri.
(iuwh) Sekitar 10 menit setelah keyakinan saya itu, saya menerima balasan bbm masuk.
Bang # : Aku lagi tiduran aja di sofa din. Entah kenapa aku tiba tiba ngerasa kalo dina udah suka sama orang lain.
Tep! Saya terdiam. Saya berpikir. Saya bingung. Saya, saya benar benar tidak mengerti situasi alam seperti ini. Saya malah bingung saya harus bahagia atau bagaimana. Layaknya ada sinyal, ada benang yang tidak terlihat, menyambungkan saya dengan orang ini. Saya sungguh tidak mengerti.
Ketidak-mengertian saya itu, saya simpan. Keyakinan saya tadi, saya benar-benar simpan. Karena kalau tidak saya simpan, masalahnya bisa brabe. Saya belum mau di kontrol, saya mau bebas dulu, saya tidak mau terikat apa-apa, saya mau mandiri, saya mau kuat, saya tidak mau manja, saya tidak mau bertumpu kepada orang lain. Saya tidak mau. Makanya saya menyimpannya saja. Mungkin suatu waktu saya bisa membaginya kepadanya, lain kali, tidak saat itu.
Sekitar 2 minggu setelah itu, dia kembali ke Bandung. Ucapan perpisahan, bye-bye, dan satu lagi, "Senengnya, pulang ke medan kali ini dapat kenalan baru, setelah sebelum-sebelumnya ga pernah. Makasi dina. Sampai ketemu lagi ya. :)"
:""
Sehari setelah dia di Bandung, kami lost contact
Kepulangan pertamanya selesai sampai disitu.